Kamis, 15 Januari 2009

MENGUKUR PUAS




MENGUKUR PUAS, MENAHAN INGIN,
MENIKMATI HIDUP, MENCOBA BAHAGIA
Oleh : Eka Wahyu Widodo

Ketika nafsu untuk memengaruhi begitu menggebu,
Ketika Mahameru duniawi begitu menggoda
Ketika keinginan menguasai, memenangi dunia begitu kuat
Itulah cara Sang Ambisi menampakkan diri


Belakangan ini kita begitu dipersilahkan untuk senantiasa terpana, memandang dunia bergerak, berubah, entah kemana tujuannya, ketika sehgala yang „mungkin“ bagi fantasi dan pikiran seakan dapat segera diwujudkan. Ketia kenyataan dan kebenaran dapat pula diputarbalikkan dengan sangat meyakinkan, ketika aplikasi teknologi menggeser cara berpikir dan perilaku kita, menjadi senjata yang ampuh yang menghancurkan kesadaran kita akan adanya nurani di hati kita, tentang adanya batasan keberdayaan kita menggapai semua keinginan, tentang pentingnya sebuah rasa puas sebagai perwujudan syukur kita kepada Sang Khalik. Kita tak mampu lagi mengukur rasa puas kita, tidak mampu lagi menahan asa kita, agar duniawi ini dapat dibagi kepada semua orang, tidak untuk kita miliki semuanya.

Pada masa – masa seperti ini Kita hanya menjadi apa saja sekaligus bukan apa – apa. Individualisme yang merebak begitu kuat memunculkan sebuah paradoks hebat ketika pribadi – pribadi menjadi tidak berdaya di hadapan sebuah kekuasaan besar, teknologi, ekonomi, politik, uang dan sebagainya. Kita tidak dapat lagi bersepakat akan norma atau etika tertentu yang dapat berlaku, ketika semua persoalan etis dan estetis telah diselesaikan oleh kekuasaan, kita hanya dapat berlindung dalam parameter yang kita buat sendiri.

Padahal mencapai hidup yang bahagia sebenarnya tidak sulit. Kebahagiaan itu sebenarnya bersumber dalam diri kita, bukannya di luar sana. Untuk mencapai rasa itu kita Cuma perlu untuk menyelami diri kita sendiri, menelusuri hati dan paradigma kita sendiri, bukan paradighma orang lain.
Tetapi kita sering merasa tak bahagia karena beberapa hal, pertama, adanya keyakinan bahwa kita tidak akan merasa bahagia bila tak memilik hal – hal yang kita pandang bernilai. Kita sudah memilki pekerjaan tatp dan tingkat kehidupan yang baik, tetapi kita selalau meraa kurang. Kita akan bahagia bila memiliki uang lebih banyak, rumah lebih besar, mobil lebih bagus, jabatan lebih tinggi dan sebagainya. Pikiran kita diselimuti oleh keinginan oleh hal atau benda yang kita pikir akan membahagiakan kita, padahal Kita tidak bahagia karena terlalu memusatkan pada hal – hal yang tidak kita miliki, dan bukan pada apa yang kita miliki sekarang ini.
Kedua Kita selalu berpikir bahwa kita akan bahagia ketika semuia keinginan kita terpenuhi. Padahal keinginan itulah yang mebuat kita tegang, frustasi, stress, gelisah, dan takut. Terpenuhinya semua ambisi dan keinginan kita hanya membawa kesenangan dan kegembiraan. Itu bukanlah Kebahagiaan. Ketiga kita sering tidak bahagia ketika membanding – bandingkan diri kita dengan orang lain yang lebih dari kita secara kasat mata, padahal orang itu belum tentu bahagia.
Dalam sebuah tulisan di SWA tahun 2002 Arvan Pradiansyah pernah mengukapkan sebuah cerita tentang 2 ekor ikan berikut ini. Ikan yang lebih muda bertanya kepada ikan yang lebih senior. « Wahai senior, Anda lebih berpengalaman dari saya. Dimanakah saya dapat menemukan samudera kebahagiaan ? Saya sudah mencarinya kemana – mana, tetapi sia- sia saja ! «
« Samudera adalah tempat engkau berenag saat ini » ujar ikan senior.
« Hah, ini hanya air saja ; Yang kucari adalah samudera, dengan perasaan kecewa si ikan muda pergi mencarinya di tempat lain. Hal ini sering terjadi pada diri kita. Padahal kebahagiaan itu tak perlu kita cari. Kita hanya perlu menumbuhkan kesadaran dan menikmati hidup kita saat ini.
MARILAH KITA MENIKMATI HIDUP, EVERYDAY IS HOLIDAY !!
(Penulis sadar bahwa dirinya pun belum tentu bahagia ketika membuat tulisan ini, tetapi pura – pura bahagia aja).

4 komentar:

  1. The happiest of people do not necessarily have the best of everything. They just make the most of everything that comes along their way....

    BalasHapus
  2. narsis masih menjadi ciri khas lo yang masih kental, terkadang kita harus menjadi orang lain untuk memperoleh hasil yang terbaik tanpa mengesampingkan jati diri dan sifat personal, tulisan lo masih seputar perbandingan yang mungkin hanya elo sendiri atau beberapa orang saja yang merasakan..(gua merasakan ada kekecewaan pada tulisan elo bener nggak? hehehe)

    BalasHapus
  3. he...he...
    cuma gitu aJA YA KOMENTAR GUA

    JUANKHALIMUN@LYCOS.COM

    BalasHapus